
Sejarah lokal memiliki beberapa fungsi kaitannya dengan sejarah nasional. Sejarah lokal memberikan energi berlebih yang dapat mempekaya sejarah nasional serta dapat mengkoreksi perspektif dan kesimpulan sebelumnya. Sejarah lokal dapat menjadi wajah dinamika dari penulisan sejarah itu sendiri. Dalam menjelajah khazanah Islam di Nusantara, merangkai sejarah lokal serta menarasikan ulang akan menemukan pemaknaan-pemaknaan baru. Wacana kesejarahan Cirebon misalnya, belum seluruhnya terungkap. Dengan adanya pemakanaan terhadap dokumen-dokumen Belanda berjenis Koloniaal Verslag 1870 – 1880, perlawanan rakyat Cirebon makin terang terbaca. Begitupun di Palembang, pada masa Kesultanan Mahmud Badaruddin II, pengelolaan administrasi birokrasi Kesultanan Palembang Darussalam makin terang dengan petunjuk sumber data primer yang ditulis oleh P. DE ROO DE FAILLE berjudul Dari Zaman Kesultanan Palembang. Sejarah NU juga tidak dapat dipisahkan dari kebijakan Politik Islam di Hindia Belanda. Dengan mengungkap sejumlah aktivitas NU yang direkam oleh surat kabar pada masa kolonial, beberapa berita yang ditemukan cukup unik, karena meliput aktivitas NU sampai di tingkat daerah, seperti di Kediri dan Semarang, terutama antara 1925 hingga 1942, yakni masalah Kongres Al-Islam, ritual keagamaan dan respon atas kebijakan sekolah liar. Meski demikian, kondisi sosial dan analisa semiotika saat ini juga perlu dipaparkan, agar penerimaan dan hukum seleksi sejarah juga berbicara. Dengan mengungkap sejarah berdirinya Pondok Pesantren LDII Millenium Alfiena dari tahun 1996-2021, perubahan arah Pesantren pada tahun 1998 telah memunculkan kepercayaan masyarakat dan pemerintah untuk memberikan izin pendirian. Sehingga Pondok Pesantren LDII Millenium Alfiena dapat berkembang dan memperoleh legitimasi sosial dengan pujian yang baik. Sedangkan analisis semiotika pada syair pupujian sunda eling-eling umat” bagi orang sunda menunjukkan bahwa ajaran aswaja yang diserap oleh pertumbuhan islam di nusantara masih tetap mewarnai umat Islam di Indonesia, terutama di daerah sunda, dalam mempertahankan ajaran keislaman yang mereka percayai dalam menyebarkan syiar melalui kebudayaan. Juga, ajaran tarekat Naqsyabandi Haqqani yang tetap eksis di Jakarta dan sekitarnya, bahkan tarekat ini berkembang di seluruh dunia.