Tinjauan Hadits, Maqashid al-Syariah Dan Hukum Positif Indonesia Terhadap Talak di Luar Pengadilan
Abstract
The formulation of the research problem is how to review hadith, maqashid al-shariah and positive law in Indonesia regarding divorce outside the court? The research method is normative legal research (library research). The results of the study, that based on the hadith in al-Majmu' Syarah al-Muhadzdzab by Imam Nawawi stated that divorce falls both in voluntary (calm), emotional, serious and joking conditions based on the hadith ثَلَاثٌ جَدُّهُنَّ جد. This hadith is often used as the basis that divorce is legal without having to go before a court. But the law in force in Indonesia, divorce must be carried out in the Religious Courts in accordance with Article 115 of the Compilation of Islamic Law (KHI), Law Number 1 of 1974 concerning Marriage and the fiqh principles الضرر يزل danحكم الحاكم إلزام. Meanwhile, according to maqasid al-shari'ah, whose core objective is to bring about benefit for humans and eliminate harm, then a divorce that is not pronounced in front of a court of law is very harmful, for example, for a wife and husband, they do not have a divorce certificate that has legal force, then if those who want to remarry will encounter obstacles at the Office of Religious Affairs (KUA). So if they want to get married a second time, they end up taking the marriage route under the hand. And if there is another divorce, the wife does not get maintenance rights during the 'iddah period, such as clothing, food and shelter. The impact on children is that they will affect their psychology, because children who initially live with a harmonious family then live with a family full of problems. In addition, the father and mother often do not provide a regular and fixed amount of income because the divorce of their parents has no legal force, so the court cannot compel the father or mother.
خلاصة
صياغة مشكلة البحث هي كيفية مراجعة الحديث ومقشد الشريعة والقانون الوضعي في إندونيسيا فيما يتعلق بالطلاق خارج المحكمة؟ منهج البحث هو البحث القانوني المعياري (بحث المكتبة). وأوضحت نتائج الدراسة التي تستند إلى حديث الإمام النووي في `` المجموع '' أن الطلاق يقع في ظروف طوعية وعاطفية وخطيرة ومزحة بناء على حديث ثَلَاثٌ جَدُّهُنَّ جد. غالبًا ما يستخدم هذا الحديث كأساس أن الطلاق قانوني دون الحاجة إلى المثول أمام محكمة. لكن القانون المعمول به في إندونيسيا ، يجب أن يتم الطلاق في المحاكم الدينية وفقًا للمادة 115 من مجموعة الشريعة الإسلامية (KHI) ، القانون رقم 1 لسنة 1974 بشأن الزواج ومبادئ الفقه db يزل dan حكم الحاكم إلزام. وفي الوقت نفسه ، وفقًا لمقاصد الشريعة ، التي يتمثل هدفها الأساسي في تحقيق المنفعة للإنسان والقضاء على الأذى ، فإن الطلاق الذي لا يتم النطق به أمام القضاء ضار جدًا ، على سبيل المثال ، بالنسبة للزوجة والعائلة. الزوج ، ليس لديهم شهادة طلاق ذات قوة قانونية ، فعندئذ إذا أراد أولئك الذين يرغبون في الزواج مرة أخرى سيواجهون عقبات في مكتب الشؤون الدينية (KUA). لذلك إذا أرادوا الزواج مرة ثانية ، ينتهي بهم الأمر بسلك طريق الزواج تحت اليد. وإذا وقع طلاق آخر فلا تحصل الزوجة على حق النفقة في العدة من كسوة ومأكل ومأوى. التأثير على الأطفال هو أنهم سيؤثرون على نفسهم ، لأن الأطفال الذين يعيشون في البداية مع أسرة متناغمة يعيشون بعد ذلك مع أسرة مليئة بالمشاكل. بالإضافة إلى ذلك ، لا يوفر الأب والأم في كثير من الأحيان مبلغًا منتظمًا وثابتًا من الدخل لأن طلاق الوالدين ليس له قوة قانونية ، لذلك لا يمكن للمحكمة إجبار الأب أو الأم.
Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana tinjauan hadits, maqashid al-syariah dan hukum positif di Indonesia terhadap talak luar pengadilan?. Metode penelitiannya adalah penelitian hukum normatif (library research). Hasil penelitian, bahwa berdasarkan hadis dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab karangan Imam Nawawi menyatakan talak itu jatuh baik dalam kondisi suka rela (tenang), emosi, serius maupun bercanda berdasarkan hadis ثَلَاثٌ جَدُّهُنَّ جد. Hadits tersebut sering dijadikan dasar bahwa talak itu sah tanpa harus di depan pengadilan. Tetapi hukum yang berlaku di Indonesia talak harus dilaksanakan di Pengadilan Agama sesuai Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam (KHI), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan kaidah fikih الضرر يزل danحكم الحاكم إلزام. Sedangkan menurut maqashid al-syariah yang tujuan intinya ialah mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan menghilangkan kemudharatan, maka talak yang tidak diikarkan di depan sidang pengadilan sangat membawa kemudharatan, misalnya bagi seorang istri dan suami, mereka tidak mempunyai surat cerai yang memiliki kekuatan hukum, maka jika mereka mau menikah kembali akan menemui kendala di Kantor Urusan Agama (KUA). Maka jika mereka mau menikah yang kedua kali akhirnya menempuh jalur nikah di bawah tangan. Dan jika terjadi perceraian kembali, maka istri tadi tidak mendapatkan hak nafkah selama masa ‘iddah, seperti pakaian, pangan dan tempat tinggal. Dampak terhadap anak yaitu akan mempengaruhi kejiwaannya, sebab anak yang semula tinggal bersama keluarga yang harmonis kemudian tinggal dengan keluarga yang penuh masalah. Di samping itu si ayah maupun si ibu sering tidak memberikan nafkah secara teratur dan jumlah yang tetap karena perceraian orang tuanya tidak memiliki kekuatan hukum, sehingga pengadilan tidak bisa memaksa ayah maupun ibunya.